Konsumen Kembali jadi Korban
DUNIA penerbangan tanah
air tiba-tiba dikejutkan dengan bangkrutnya Batavia Air. Maskapai
penerbangan yang dimiliki pengusaha Yudiawan Tansari asal Pontianak,
Kalimantan Barat, itu menghentikan pengoperasian segala rute setelah
diputus pailit oleh Pengadilan Niaga (PN) Jakarta Pusat Rabu lalu
(30/1).
Adalah perusahaan sewa pesawat ILFC
(International Lease Finance Corporation) yang melayangkan gugatan
pailit ke PN Jakarta Pusat lantaran Batavia Air tidak kunjung membayar
utang yang jatuh tempo sebesar USD 4,688 juta (sekitar Rp 45 miliar).
Selain itu, Batavia Air memiliki kewajiban kepada Sierra Leasing Ltd
sebesar USD 4,9 juta (sekitar Rp 47 miliar).
Bagi orang awam, bangkrutnya Batavia Air
memang cukup mengejutkan. Tapi, orang yang bergelut di dunia
penerbangan jauh-jauh hari sebenarnya bisa mencium ketidakberesan
Batavia Air. Indikasi pertama sebenarnya dapat dibaca dari batalnya
AirAsia mengakuisisi Batavia Air. Padahal, maskapai penerbangan murah
asal Malaysia itu sudah menyiapkan dana USD 80 juta (sekitar Rp 76,8
miliar) untuk membeli perusahaan yang berdiri pada 2001 tersebut.
Bisa jadi, saat melakukan uji menyeluruh (due diligence),
tim AirAsia mengetahui kebobrokan Batavia Air dan tumpukan utangnya
yang segunung. Hal tersebut diperkuat hasil riset lembaga Malaysia, OSK
Research Sdn Bhd, yang mengestimasi Batavia Air memiliki utang hingga
USD 40 juta (sekitar Rp 384 miliar) pada akhir 2012. Karena itu, OSK
Research berani menyebut Batavia Air adalah perusahaan yang sakit.
Yang menjadi pertanyaan, di mana peran
dan fungsi Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebagai regulator.
Semestinya, Kemenhub sudah bisa mencium gelagat ketidakberesan Batavia
Air setelah melihat kenyataan di lapangan. Berdasar sejumlah laporan,
dalam beberapa waktu terakhir Batavia Air mempunyai banyak tunggakan dan
utang. Tapi, mengapa Kemenhub terkesan menutup mata atau memang tidak
tahu dengan kondisi itu.
Padahal, kesehatan finansial perusahaan
penerbangan sangat krusial demi keselamatan penumpang. Bukan tidak
mungkin keselamatan penumpang diabaikan demi menekan biaya dan
pengeluaran. Seakan seperti tidak terjadi apa-apa, konsumen pun masih
membeli tiket hingga menit-menit terakhir sebelum Batavia Air dinyatakan
pailit.
Kini konsumen kembali dirugikan dan
ditelantarkan setelah membeli tiket dan sampai di bandara ternyata
pesawatnya tak ada karena tidak beroperasi lagi. Setali tiga uang
dengan perusahaan travel yang melakukan deposit miliaran rupiah untuk
membeli tiket Batavia Air.
Bukan sekali dua kali ini saja
pemerintah sebagai regulator seakan tidak berfungsi. Misalnya, dalam
kasus gagal bayar nasabah asuransi Bakrie Life senilai Rp 250 miliar
yang tak berhasil diselesaikan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (Bapepam-LK) hingga bubar digantikan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) per Januari 2013.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Post a Comment