Oleh: Bhakti Dharma MT.
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan, mengabulkan permohonan dari
perusahaan sewa guna pesawat International Lease Finance Corporation
(ILFC) yang menggugat pailit PT Metro Batavia, selaku operator maskapai
penerbangan Batavia Air. Majelis menyatakan Batavia Air memenuhi syarat
untuk dinyatakan pailit, sesuai dengan UU nomor 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan. Atas putusan ini, pihak Batavia Air masih menyatakan
pikir-pikir apakah menerima atau tidak dan mengajukan kasasi.
Sebenarnya
pihak ILFC telah mencabut gugatannya sebelum putusan dibacakan oleh
majelis hakim, namun pihak Batavia Air menyatakan keberatan karena
pencabutan dilakukan di saat persidangan telah memasuki babak akhir,
yakni menjelang putusan. Pihak Batavia menyatakan adanya gugatan pailit
ini sudah membuat nama baiknya tercemar dan merusak kepercayaan publik.
Seperti diketahui, IFLR melakukan gugatan pailit terhadap Batavia Air
karena tidak mampu membayar utang jatuh tempo hingga 13 Desember 2012
yang mencapai 4,68 juta dolar AS. Utang tersebut berasal dari kewajiban
pembayaran sewa, cadangan (reserves), dan bunga keterlambatan
pembayaran. Permohonan pailit didaftarkan ke Pengadilan Niaga.Batavia Air, terpaksa harus menerima vonis pailit dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Rabu (30/1). Kesulitan likuiditas membuatnya bangkrut, sehingga tak mampu membayar utang jatuh tempo ke International Lease Finance Corporation (ILFC), pihak yang menyewakan pesawat ke Batavia. Maskapai milik pengusaha asal Pontianak ini pun harus menghentikan seluruh operasionalnya.
Dua tahun lalu, juga di bulan Januari, Mandala Airlines menghadapi persoalan serupa, dipailitkan oleh PN Jakarta Pusat. Beruntung, maskapai yang manajemennya pernah bekerja sama dengan Singapore Airlines itu diselamatkan oleh Grup Saratoga, meski hadir kembali dengan perampingan rute. Tercatat ada 13 maskapai di Indonesia yang harus "terkubur" karena tak mampu bersaing di bisnis penuh kompetisi dan padat modal ini.
Kita tentu ingat Sempati Ar yang begitu fenomenal milik Tommy Soeharto yang bangkrut pada Juni 1998. Juga beberapa maskapai berskala lebih kecil, seperti Adam Air, Bouraq Airline, Indonesia Airline milik keluarga Gus Dur, Jatayu, Star Air, Celebes, Riau Airline, dan Seulawah Air yang harus mengadangkan pesawat mereka. Kebangkrutan Batavia Air dan Mandala Airlines adalah sebuah ironi di tengah bisnis penerbangan di Indonesia yang tengah booming. Pertumbuhan jumlah penumpang rata-rata mencapai 17% dalam beberapa tahun terakhir.
Tahun lalu jumlah penumpang pesawat udara menembus 70 juta dan tahun 2015 diprediksi mencapai 100 juta orang. Pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi, kenaikan kesejahteraan dan daya beli masyarakat, serta pertumbuhan kelas menengah yang agresif menjadi faktor utama meledaknya bisnis penerbangan. Tarif murah yang ditawarkan maskapai dengan konsep low cost carrier (LCC) membuat banyak orang berpindah dari moda transportasi darat dan kereta api ke pesawat udara.
Pemicu Kebangkrutan
Dengan pertumbuhan jumlah penumpang yang signifikan, semestinya kue bisnis penerbangan cukup untuk dibagi oleh 19 penerbangan berjadwal yang saat ini eksis. Karena itu, tumbangnya Batavia dan maskapai-maskapai sebelumnya ibarat tikus mati di lumbung padi. Dari sejumlah analisis yang mencuat, kebangkrutan maskapai selama ini dipicu oleh beberapa hal. Pertama, umumnya maskapai tersebut milik keluarga yang manajemennya sering kurang profesional dan kurang transparan. Kedua, fundamental keuangan kurang solid.
Ketiga, banyak maskapai yang kemudian terlalu ekspansif, bahkan melenceng dari bisnis inti. Faktor keempat adalah dari eksternal, terutama harga bahan bakar avtur yang dalam satu dekade ini cenderung tinggi dan tidak stabil. Meski potensi bisnis penerbangan sangat besar, kita tahu bahwa tingkat kompetisinya begitu ketat.
Dalam kondisi di luar peak season, maskapai cenderung perang tarif dan banting harga. Maskapai yang bermodal kuat, didukung armada yang besar dan manajemen yang solid lah yang akan memenangi persaingan.
Di segmen LCC, kita menyaksikan agresivitas Lion Air dan Air Asia, dan kini dibayangi oleh Citilink Garuda. Rontoknya sejumlah maskapai menjadi sinyal bahaya bagi maskapai nasional lainnya yang bermodal cekak. Bukan tidak mungkin bakal ada maskapai lain yang menyusul jadi korban. Dalam hal kebangkrutan maskapai, calon penumpang yang sudah telanjur membeli tiket sangat dirugikan. Terlebih lagi sekarang banyak maskapai yang menawarkan tiket untuk penerbangan enam bulan hingga setahun ke depan.
Dalam konteks itu, kontrol dari otoritas penerbangan menjadi penting. Kementerian Perhubungan harus secara rutin mengaudit kondisi internal maskapai.
Asosiasi perusahaan penerbangan (Inaca) juga bisa menjadi pengawas. Bahkan jika perlu, maskapai wajib melaporkan kondisi keuangan kepada otoritas, meski perusahaan tersebut belum go public. Hal ini perlu karena kondisi internal yang buruk dapat mengganggu pelayanan dan kinerja awak pesawat, yang dapat membahayakan keselamatan penumpang. Selain kompetisi di dalam negeri, sebentar lagi maskapai penerbangan nasional harus bertarung dengan maskapai asing seiring penerapan open sky, yang diawali di tingkat Asean mulai 2015.
Persiapan Matang
Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia akan menjadi ajang pesta pora bagi maskapai asing yang didukung permodalan kuat dan manajemen yang solid. Tanpa persiapan yang matang, liberalisasi penerbangan itu akan melindas maskapai di dalam negeri yang sebagian masih lemah. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk memberikan proteksi secara cerdas, karena banyak negara yang juga membatasi akses bagi maskapai asing.
Selain itu, belakangan ini industri penerbangan di tanah air juga banyak yang mengalami masalah. Lihat saja misalnya dalam hal pelayanan, banyak pelayanan maskapai penerbangan yang sudah mulai semakin memburuk. Kalau dulu penerbangan masih menjadikan para penumpang seperti raja, namun kini pelayanan itu sudah berubah dengan mengabaikan hak-hak para penumpang. Tidak jarang penumpang telantar karena jadwal penerbangan yang tidak tepat waktu.
Sementara ketika penumpang yang terlambat dalam hal keberangkatan, pihak maskapai begitu mudah membatalkan tiket atau penerbangan penumpangnya. Hal ini jelas merupakan bentuk ketidakadilan yang dijalankan oleh maskapai penerbangan. Semua kondisi ini juga menunjukkan bahwa betapa tanda-tanda kebangkrutan penerbangan kita sudah mulai muncul ke permukaan. Disini dibutuhkan pengawasan langsung dari pemerintah. ***
Penulis adalah peminat masalah hukum dan social kemasyarakatan, aktif di KomPedan Medan.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Post a Comment