Menapaki Sejarah Pulau Penyengat
Pulau Penyengat, sebuah
pulau kecil yang nampak sederhana dan apa adanya ini ternyata memegang
peranan penting pada masa kejayaan pemerintahan Kerajaan Riau di masa
lalu
Selain kemilau pesatnya perkembangan perdagangan dan industri di Kota Batam, ternyata provinsi kepulauan yang terdiri dari 2.408 buah pulau besar dan kecil ini menyimpan cerita sejarah yang panjang. Dari sebuah pulau kecil berjarak 1,5 km di sebelah barat Kota Tanjung Pinang, masih terlihat sisa kejayaan Kerajaan Riau di masa lalu. Sore ini saya dan teman saya akan menyeberang menggunakan perahu pompong untuk menuju pulau tersebut.
Pulau Penyengat. Sebuah pulau kecil dengan keseluruhan luas 3,5 km2 itu memiliki keunikan dan cerita tersendiri. Selama berkecamuknya peperangan antara Kerajaan Riau dengan Belanda (1782-1794 M), pulau ini dijadikan kubu penting. Raja Haji Yang Dipertuan Muda Riau IV (termashyur dengan gelar Raja Haji Syahid Fisabilillah Marhum Teluk Ketapang) yang memimpin peperangan dengan Belanda, mendirikan kubu-kubu pertahanan Kerajaan Riau di Penyengat, yakni di Bukit Penggawa, Bukit Tengah, dan Bukit Kursi. Benteng-benteng ini dilengkapi pula dengan meriam-meriam dalam berbagai ukuran. Di zaman pemerintahan Sultan Mahmud Syah (1761-1812 M), ketika beliau menikah dengan Engku Putri binti Raja Haji Syahid Fisabilillah sekitar tahun 1801 M, pulau ini diserahkan kepada permaisurinya itu sebagai mahar atau mas kawinnya. Nama Penyengat sendiri berawal dari sebuah legenda.
Diceritakan bahwa pernah pelaut-pelaut yang sedang mengambil air bersih ditempat itu diserang oleh sejenis lebah yang disebut penyengat. Karena serangga itu sampai menimbulkan korban jiwa, hewan itu dianggap sakti. Konon, sejak itulah pulau ini dinamakan Pulau Penyengat Indra Sakti, yang selanjutnya lebih dikenal sebagai Pulau Penyengat hingga saat ini.
Begitu menginjakkan kaki di Pulau Penyengat, saya langsung disambut dengan papan besar bertuliskan “Selamat Datang di Pulau Penyengat”. Jika kita melihat lebih jauh tampak dinding berwarna kuning dari Masjid Raya Sultan Riau Penyengat menyembul dari balik rumah-rumah masyarakat. Dibangun oleh Sultan Mahmud pada tahun 1803, masjid ini mengalami renovasi pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Riau VII Raja Abdul Rahman tahun 1832. Menurut sejarah, masjid ini dibangun dengan menggunakan campuran putih telur, kapur, pasir, dan tanah liat. Bangunan masjid ini memiliki ukuran panjang 20 meter dan lebar 18 meter. Pada setiap sudut
bangunan terdapat 4 buah menara tempat bilal mengumandangkan azan. Selain itu terdapat pula 13 buah kubah berbentuk seperti bawang, sehingga keseluruhannya berjumlah 17 buah sebagai simbol rakaat sholat fhardu lima waktu. Sejenak saya melepas lelah di pelataran masjid sembari berkeliling melihat keunikan-keunikan masjid bersejarah ini serta tak lupa menunaikan sholat Ashar.
Selain Masjid Raya Sultan Riau Penyengat, objek wisata sejarah yang terdapat di Pulau Penyengat adalah Makam Engku Putri Raja Hamidah, Makam Raja Haji Fisabilillah, Makam Raja Jakfar, Makam Raja Abdurrahman, Istana Kantor, dan Balai Adat Indera Perkasa. Ingin mengunjungi semua? Jangan khawatir. Cukup membayar Rp 20.000 saja Anda akan diantar sebuah Bemor (Becak Motor berkapasitas 2 orang penumpang) untuk berkeliling situs-situs sejarah tersebut. Sungguh pengalaman unik nan menegangkan ketika saya menaiki Bemor. Bagaimana tidak? Baru saja sedetik saya duduk manis di atas Bemor, tiba-tiba pak sopir langsung menancap GAS POL dan NGEBUT! Belum puas dengan itu, ketika jalanan kecil ber-pavin block yang saya lalui itu menuju tikungan, tiba-tiba Bemor MENGEREM dan berbelok secara tajam lalu kembali MENANCAP GAS! *fiuh* Atraksi pak sopir bak pembalap Moto GP itu yang pasti berhasil membuat saya berpegangan erat pada besi Bemor sepanjang perjalanan sambil teriak-teriak sekaligus ngakak-ngakak tertawa…
Selain objek-objek wisata diatas, hal menarik yang saya jumpai di pulau ini ada di salah satu sudut pulau, tepatnya di seberang Balai Adat Melayu Indera Perkasa. Sebuah jembatan panjang bekas dermaga yang sudah tidak aktif menjadi spot favorit saya. Dengan latar belakang lautan lepas serta permukiman nelayan jangan sampai terlewat untuk Anda abadikan.
30 menit berlalu, Bemor pun berhenti kembali tepat di depan Masjid Raya Sultan Riau Penyengat, tanda satu putaran telah dilewati. Tiba saatnya saya untuk berpamitan. Matahari pun hendak terbenam saat perahu yang saya tumpangi pergi menjauh dari pulau menuju Kota Tanjung Pinang.
Selamat petang Pulau Penyengat…
Sumber : Kompasiana
{ 0 komentar... read them below or add one }
Post a Comment